Ketika Matahari Tenggelam

Saat matahari menampakkan rona merah nya sambil mengintip dibalik peraduan. Para musafir berbondong-bondong menuju kediaman masing-masing dengan membawa lelah dan letih. Para pedagang kaki lima mulai menggelar dagangannya.

Lampu-lampu jalan raya mulai dihidupkan untuk menerangi manusia yang lewat dengan kendaraannya. Para pemilik toko dengan beraturan mulai menyalakan lampunya masing-masing untuk menerangi dagangannya, begitu pula denganku.

Aku berjalan keluar untuk melihat mobil-mobil yang mulai menyalakan lampu nya. Sebuah pemandangan biasa seperti yang kutemui setiap hari. Apabila engkau menengok lebih dalam, akan kau lihat di pertigaan sebelah timur sana seorang lelaki tua dengan satu stel pakaian yang entah sejak kapan sudah melekat pada tubuhnya yang renta itu.

Ketika petang menjelang dan matahari perlahan mengurangi sinarnya, lelaki itu dengan tertatih-tatih menuju sebuah warung. Warung itu tidak lebih dari sebuah tikar dan meja kecil yang diletakkan di depan toko yang belum satu jam ditutup pemiliknya. Disitulah Pak Tua melepas dahaganya dengan secangkir kopi.

Dari agak kejauhan sayup-sayup terdengar suara muadzin mengalun merdu mengumandangkan adzan yang di sambut oleh beberapa orang tua yang perlahan menuju masjid itu.

Langit sudah menampakkan warna merahnya, sebentar lagi gelap menyusul. Pak Tua tadi menyusul menuju masjid, begitu pula denganku. Bedanya, aku tidak ke masjid. Tetapi masuk kembali ke dalam toko. Aku tidak dapat meninggalkan toko ku untuk sholat maghrib ke Masjid, jadi aku Sholat di toko saja.

Matahari tenggelam, hari mulai malam. Terdengar adzan maghrib, ayo kita sholat. Allohu Akbar, Allohu Akbar, Alloh Maha Besar.

Leave a Comment